Pengamat bahasa dan kesusastraan Indonesia Eka
Budianta menilai nasionalisme bangsa Indonesia sedang dalam posisi
rendah, terutama berkaitan dengan rasa kebanggaan berbahasa nasional.
Eka menyatakan, bahasa Indonesia kalah populer dari bahasa asing.
Ironisnya, hal itu terjadi di rumah sendiri.
"Kita belum memakai
bahasa dengan sungguh-sungguh sehingga dalam penggunaannya bahasa
Indonesia pun mengalami pendangkalan bahasa," katanya seusai menghadiri
acara Puncak Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia di kantor Badan Bahasa,
Jakarta, Selasa (30/10/2012).
"Kita pernah melihat ada seorang
tokoh masyarakat yang ketika itu memilih bahasa lain untuk mengungkapkan
emosionalnya di hadapan publik. Dari sana kita tahu, sepertinya orang
mulai beralih ke bahasa asing. Bahasa Indonesia-nya hanya jadi artefak
atau bahasa fosil?" ujar Eka mengkritisi ulah bangsa Indonesia yang
belum menjunjung tinggi kebahasaan dalam negeri.
Padahal, menurut
Eka, bahasa Indonesia lebih memadai untuk menyampaikan pesan bahasa
yang lebih tertata dan sopan santun. Hanya saja, dalam penggunaannya,
para penutur belum sepenuhnya menjiwai bahasa.
"Harus ditemukan
orang-orang yang lebih mengutamakan pemikirannya daripada sekadar
berbahasa tanpa isi alias basa basi. Harus ada ruh dan ketulusan hati
sehingga bahasa kita bisa lebih hidup. Kita harus menjelajahi jiwa itu
untuk menemukan bahasa yang menjangkau sejarah bangsa, etnologi, dan
kekayaan Indonesia," tutur Eka lagi.
Pendangkalan bahasa
Penerima penghargaan sastra dengan karya menggugah untuk novel Langit Pilihan
pada Bulan Bahasa dan Sastra 2012 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pun tidak menginginkan
penggunaan bahasa Indonesia menjadi kurang bermakna karena hilangnya
kekayaan kosakata bahasa.
"Ini juga pendangkalan bahasa, misal
hilangnya kosakata, pantai utara yang kini menjadi pantura, kemudian
Otto Iskandar Dinata ke mana setelah ada Otista? Lalu, kalau kita mau
menyatakan cinta kepada seseorang lewat bahasa, kita cuma bisa bilang
apa selain 'I Love You' ? Padahal, bahasa kita itu lebih kaya," ujar Eka
lagi.
Ia menambahkan, lewat kekayaan bahasa, kita dapat
menemukan ungkapan yang lebih emosional. Mengutip karya Sapardi Djoko
Damono yang mampu membahasakan cintanya "dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu" atau "dengan isyarat
yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada",
maka orang lain tidak akan kabur ke bahasa lainnya.
"Saya
contohkan yang lainnya, misal ada berita laporan wisata soal candi, para
penyaji berita itu bicara sana sini tidak bermakna, tidak ada
pemindahan nilai dari sejarah candi, fungsi candi, dan manfaat lain yang
menunjang ilmu pengetahuan kita," katanya.
Dikatakannya pula,
bahasa Indonesia akan lebih baik dan maju lagi bila ada penghargaan
untuk para penutur bahasa yang baik, serta sosialisasi bahasa kepada
masyarakat sehingga bahasa Indonesia dapat dipikirkan bersama banyak
warga, bukan orang-orang tertentu saja.
"Di Jepang orang tidak
peduli, siapa pun itu dia harus bisa bahasa mereka. Agak feodal, tapi
itu baik bahwa mereka menunjung bahasanya sendiri. Ada penghargaan lho
bagi penutur bahasa yang baik, misal gajinya akan lebih tinggi,
jabatannya juga naik. Nah di Indonesia, justru kebalikannya, kita
dihargai kalau bisa bahasa luar negeri. Bahasa kita jatuh di bawah,
sayang sekali bukan?" tuturnya kemudian.
Ia berharap, semakin banyak orang yang peduli terhadap bahasa, maka semakin tinggi derajat bahasa nasional.
"Kita
belum mampu membanggakan bahasa sendiri, tahunya yang bagus itu yang
impor, padahal bahasa Indonesia itu kaya. Coba kita punya pusat budaya
Indonesia, biar orang tahu, bahasa kita itu benar-benar dipikirkan,"
tandasnya.
sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar