Senin, 12 November 2012
Minggu, 11 November 2012
Selasa, 30 Oktober 2012
Kisah SMKN 2 Surakarta Mengembangkan Mobil Esemka
Oleh Ester Lince Napitupulu dan Sri Rejeki
KOMPAS.com - Mulai dengan
perakitan mobil program Direktorat SMK Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, SMKN 2 Surakarta yang memiliki program keahlian otomotif
terpilih untuk mengembangkan mobil Esemka pada 2008. Sekolah yang
berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional itu kini digandeng PT
Solo Manufaktur Kreasi untuk mengembangkan prototipe mobil Esemka yang
siap diproduksi massal.
Mobil jenis sport utility vehicle (SUV) Esemka 1.500 cc karya siswa SMKN 2 sudah dijadikan mobil dinas di masa Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi). Rakitan mobil Esemka generasi pertama dikerjakan siswa SMKN 2, SMKN 5, dan SMK Warga Surakarta di bawah bimbingan Sukiyat, pemilik Bengkel Kiat Motor, yang menjadi mentor siswa SMK.
Keinginan mewujudkan mobil Esemka menjadi produk massal yang bisa bersaing di pasar dalam negeri mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Solo. Hal itu ditandai dengan pembentukan PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) oleh sejumlah pengusaha dan gabungan koperasi SMK di Solo dan sekitarnya.
”Dari merakit, kita bisa belajar membuat beberapa komponen. Ini peluang buat siswa SMK mengembangkan usaha,” kata Dwi Budhi Martono, guru otomotif SMKN 2 Surakarta.
Menurut Martono, pembuatan mobil Esemka juga bermitra dengan produsen dari China. Namun, komponen lokal diperbanyak. Mobil Esemka yang siap dipasarkan, kandungan lokal mencapai 60 persen.
Joko Sutrisno, mantan Direktur SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendukung hadirnya PT SMK. ”PT SMK sebagai industri. Adapun SMK-SMK melalui koperasi digandeng sebagai mitra. Demikian juga sejumlah usaha kecil menengah,” kata Joko.
Produksi massal mobil Esemka untuk mobil jenis SUV dan pick-up (minitruk) yang dikembangkan di banyak SMK, menurut Joko, siap dilaksanakan PT SMK. Proses perizinan masih diurus dari kepolisian, Kementerian Perhubungan, hingga Kementerian Perindustrian.
Martono mengatakan, di SMKN 2 tengah dikembangkan prototipe mobil Esemka SUV dan pick-up yang lebih baik dari yang pernah dirakit. Bersama Universitas Muhammadiyah Surakarta, sasis mobil Esemka didesain monocoque (kerangka dan bodi menjadi satu), lebih ringan, tetapi tetap kuat.
Minitruk yang hendak diproduksi massal berkapasitas 1.100 cc dan mampu mengangkat beban seberat 1 ton.
Martono menuturkan, sekolah ini bisa bermitra dengan sejumlah UKM di daerah lain sekitar Solo untuk membuat komponen-komponen mobil yang sudah bisa dilokalkan. Dalam bidang ini, selain siswa otomotif, bisa dilibatkan siswa mesin dan elektronika.
Program keahlian otomotif sampai saat ini tinggi peminatnya. Masyarakat melihat peluang kerja yang terbuka lebar, termasuk peluang wirausaha dalam jasa perawatan. ”Sekarang kami coba mengarahkan dalam proses produksi,” kata Martono.
Lulusan program keahlian otomotif SMKN 2 Surakarta saat ini diburu berbagai perusahaan otomotif. Mereka tersebar di Solo dan sekitarnya, di perusahaan besar otomotif, hingga di perusahaan pembuat berbagai komponen mobil.
Perakitan komputer
Tak hanya dikenal dengan program otomotif yang mencuatkan mobil Esemka ke tingkat nasional, SMKN 2 Surakarta juga dilibatkan dalam perakitan laptop, netbook, personal computer, dan proyektor LCD. Dalam waktu dekat, sekolah ini akan dilibatkan dalam perakitan komputer tablet.
Wakid Rusyanto, Kepala Kompetensi Teknik Komputer Jaringan (TKJ), mengatakan, produk netbook, personal computer, hingga proyektor LCD rakitan siswa SMKN 2 Surakarta sudah dikenal luas melalui pameran-pameran. Kini, SMKN 2 juga dikenal sebagai pusat pelatihan perakitan komputer.
Guru dan siswa dari sekolah lain, termasuk SMK teknologi informasi, biasanya tidak membeli yang sudah dirakit siswa. SMKN 2 merekomendasikan peserta untuk membeli komponen siap rakit dari vendor yang dikenal sekolah. Lalu, siswa dan guru dari sekolah lain ini belajar merakit sendiri di bawah bimbingan SMKN 2.
”Semakin banyak SMK lain yang bisa merakit komputer, kami senang. Kita tidak saling bersaing, tetapi saling berbagi supaya sama-sama maju,” kata Wakid.
Dalam program perakitan, siswa kelas X TKJ bertugas merakit. Adapun siswa kelas XI bertanggung jawab pada pengawasan kualitas, yakni saat instalasi dan pengecekan, sedangkan kelas XII pada pemeliharaan.
Komponen lokal
Sekolah ini juga mengajarkan perakitan CNC milling kepada siswa. Sekolah memulai dari perakitan, kemudian mengembangkannya dengan memasukkan komponen lokal.
Misalnya, dalam pembuatan mesin CNC bermerek Focus Esemka, komponen lokal bisa mencapai 60 persen. Mesin yang harga di pasaran Rp 600 juta bisa dibuat lebih murah sekitar Rp 200 juta (30 persen) dari harga jual di pasaran.
Menurut Martono, perakitan dengan memasukkan komponen-komponen yang bisa diproduksi lokal terus dikembangkan SMKN 2 Surakarta dalam bagian pendidikan berbasis produksi. Cara ini diyakini bisa menginspirasi siswa berinovasi dan mengembangkan industri komponen yang bisa dikerjakan di tingkat SMK dan UKM.
Selain teknik otomotif, permesinan, dan teknik komputer dan informatika yang mampu berkembang dalam skala industri, sekolah ini menguatkan pendidikan dalam program keahlian lain seperti teknik konstruksi kayu, teknik konstruksi batu dan beton, teknik gambar bangunan, teknik instalasi tenaga listrik, dan teknik audio video.
Pembuatan mobil Esemka juga bermitra dengan produsen
dari China. Namun, komponen lokal diperbanyak. Mobil Esemka yang siap
dipasarkan, kandungan lokal mencapai 60 persen.
Mobil jenis sport utility vehicle (SUV) Esemka 1.500 cc karya siswa SMKN 2 sudah dijadikan mobil dinas di masa Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi). Rakitan mobil Esemka generasi pertama dikerjakan siswa SMKN 2, SMKN 5, dan SMK Warga Surakarta di bawah bimbingan Sukiyat, pemilik Bengkel Kiat Motor, yang menjadi mentor siswa SMK.
Keinginan mewujudkan mobil Esemka menjadi produk massal yang bisa bersaing di pasar dalam negeri mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Solo. Hal itu ditandai dengan pembentukan PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) oleh sejumlah pengusaha dan gabungan koperasi SMK di Solo dan sekitarnya.
”Dari merakit, kita bisa belajar membuat beberapa komponen. Ini peluang buat siswa SMK mengembangkan usaha,” kata Dwi Budhi Martono, guru otomotif SMKN 2 Surakarta.
Menurut Martono, pembuatan mobil Esemka juga bermitra dengan produsen dari China. Namun, komponen lokal diperbanyak. Mobil Esemka yang siap dipasarkan, kandungan lokal mencapai 60 persen.
Joko Sutrisno, mantan Direktur SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendukung hadirnya PT SMK. ”PT SMK sebagai industri. Adapun SMK-SMK melalui koperasi digandeng sebagai mitra. Demikian juga sejumlah usaha kecil menengah,” kata Joko.
Produksi massal mobil Esemka untuk mobil jenis SUV dan pick-up (minitruk) yang dikembangkan di banyak SMK, menurut Joko, siap dilaksanakan PT SMK. Proses perizinan masih diurus dari kepolisian, Kementerian Perhubungan, hingga Kementerian Perindustrian.
Martono mengatakan, di SMKN 2 tengah dikembangkan prototipe mobil Esemka SUV dan pick-up yang lebih baik dari yang pernah dirakit. Bersama Universitas Muhammadiyah Surakarta, sasis mobil Esemka didesain monocoque (kerangka dan bodi menjadi satu), lebih ringan, tetapi tetap kuat.
Minitruk yang hendak diproduksi massal berkapasitas 1.100 cc dan mampu mengangkat beban seberat 1 ton.
Martono menuturkan, sekolah ini bisa bermitra dengan sejumlah UKM di daerah lain sekitar Solo untuk membuat komponen-komponen mobil yang sudah bisa dilokalkan. Dalam bidang ini, selain siswa otomotif, bisa dilibatkan siswa mesin dan elektronika.
Program keahlian otomotif sampai saat ini tinggi peminatnya. Masyarakat melihat peluang kerja yang terbuka lebar, termasuk peluang wirausaha dalam jasa perawatan. ”Sekarang kami coba mengarahkan dalam proses produksi,” kata Martono.
Lulusan program keahlian otomotif SMKN 2 Surakarta saat ini diburu berbagai perusahaan otomotif. Mereka tersebar di Solo dan sekitarnya, di perusahaan besar otomotif, hingga di perusahaan pembuat berbagai komponen mobil.
Perakitan komputer
Tak hanya dikenal dengan program otomotif yang mencuatkan mobil Esemka ke tingkat nasional, SMKN 2 Surakarta juga dilibatkan dalam perakitan laptop, netbook, personal computer, dan proyektor LCD. Dalam waktu dekat, sekolah ini akan dilibatkan dalam perakitan komputer tablet.
Wakid Rusyanto, Kepala Kompetensi Teknik Komputer Jaringan (TKJ), mengatakan, produk netbook, personal computer, hingga proyektor LCD rakitan siswa SMKN 2 Surakarta sudah dikenal luas melalui pameran-pameran. Kini, SMKN 2 juga dikenal sebagai pusat pelatihan perakitan komputer.
Guru dan siswa dari sekolah lain, termasuk SMK teknologi informasi, biasanya tidak membeli yang sudah dirakit siswa. SMKN 2 merekomendasikan peserta untuk membeli komponen siap rakit dari vendor yang dikenal sekolah. Lalu, siswa dan guru dari sekolah lain ini belajar merakit sendiri di bawah bimbingan SMKN 2.
”Semakin banyak SMK lain yang bisa merakit komputer, kami senang. Kita tidak saling bersaing, tetapi saling berbagi supaya sama-sama maju,” kata Wakid.
Dalam program perakitan, siswa kelas X TKJ bertugas merakit. Adapun siswa kelas XI bertanggung jawab pada pengawasan kualitas, yakni saat instalasi dan pengecekan, sedangkan kelas XII pada pemeliharaan.
Komponen lokal
Sekolah ini juga mengajarkan perakitan CNC milling kepada siswa. Sekolah memulai dari perakitan, kemudian mengembangkannya dengan memasukkan komponen lokal.
Misalnya, dalam pembuatan mesin CNC bermerek Focus Esemka, komponen lokal bisa mencapai 60 persen. Mesin yang harga di pasaran Rp 600 juta bisa dibuat lebih murah sekitar Rp 200 juta (30 persen) dari harga jual di pasaran.
Menurut Martono, perakitan dengan memasukkan komponen-komponen yang bisa diproduksi lokal terus dikembangkan SMKN 2 Surakarta dalam bagian pendidikan berbasis produksi. Cara ini diyakini bisa menginspirasi siswa berinovasi dan mengembangkan industri komponen yang bisa dikerjakan di tingkat SMK dan UKM.
Selain teknik otomotif, permesinan, dan teknik komputer dan informatika yang mampu berkembang dalam skala industri, sekolah ini menguatkan pendidikan dalam program keahlian lain seperti teknik konstruksi kayu, teknik konstruksi batu dan beton, teknik gambar bangunan, teknik instalasi tenaga listrik, dan teknik audio video.
Sumber :
Kompas Cetak
Di Rumah Sendiri, Bahasa Indonesia Tidak Populer
Pengamat bahasa dan kesusastraan Indonesia Eka
Budianta menilai nasionalisme bangsa Indonesia sedang dalam posisi
rendah, terutama berkaitan dengan rasa kebanggaan berbahasa nasional.
Eka menyatakan, bahasa Indonesia kalah populer dari bahasa asing.
Ironisnya, hal itu terjadi di rumah sendiri.
"Kita belum memakai bahasa dengan sungguh-sungguh sehingga dalam penggunaannya bahasa Indonesia pun mengalami pendangkalan bahasa," katanya seusai menghadiri acara Puncak Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia di kantor Badan Bahasa, Jakarta, Selasa (30/10/2012).
"Kita pernah melihat ada seorang tokoh masyarakat yang ketika itu memilih bahasa lain untuk mengungkapkan emosionalnya di hadapan publik. Dari sana kita tahu, sepertinya orang mulai beralih ke bahasa asing. Bahasa Indonesia-nya hanya jadi artefak atau bahasa fosil?" ujar Eka mengkritisi ulah bangsa Indonesia yang belum menjunjung tinggi kebahasaan dalam negeri.
Padahal, menurut Eka, bahasa Indonesia lebih memadai untuk menyampaikan pesan bahasa yang lebih tertata dan sopan santun. Hanya saja, dalam penggunaannya, para penutur belum sepenuhnya menjiwai bahasa.
"Harus ditemukan orang-orang yang lebih mengutamakan pemikirannya daripada sekadar berbahasa tanpa isi alias basa basi. Harus ada ruh dan ketulusan hati sehingga bahasa kita bisa lebih hidup. Kita harus menjelajahi jiwa itu untuk menemukan bahasa yang menjangkau sejarah bangsa, etnologi, dan kekayaan Indonesia," tutur Eka lagi.
Pendangkalan bahasa
Penerima penghargaan sastra dengan karya menggugah untuk novel Langit Pilihan pada Bulan Bahasa dan Sastra 2012 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pun tidak menginginkan penggunaan bahasa Indonesia menjadi kurang bermakna karena hilangnya kekayaan kosakata bahasa.
"Ini juga pendangkalan bahasa, misal hilangnya kosakata, pantai utara yang kini menjadi pantura, kemudian Otto Iskandar Dinata ke mana setelah ada Otista? Lalu, kalau kita mau menyatakan cinta kepada seseorang lewat bahasa, kita cuma bisa bilang apa selain 'I Love You' ? Padahal, bahasa kita itu lebih kaya," ujar Eka lagi.
Ia menambahkan, lewat kekayaan bahasa, kita dapat menemukan ungkapan yang lebih emosional. Mengutip karya Sapardi Djoko Damono yang mampu membahasakan cintanya "dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu" atau "dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada", maka orang lain tidak akan kabur ke bahasa lainnya.
"Saya contohkan yang lainnya, misal ada berita laporan wisata soal candi, para penyaji berita itu bicara sana sini tidak bermakna, tidak ada pemindahan nilai dari sejarah candi, fungsi candi, dan manfaat lain yang menunjang ilmu pengetahuan kita," katanya.
Dikatakannya pula, bahasa Indonesia akan lebih baik dan maju lagi bila ada penghargaan untuk para penutur bahasa yang baik, serta sosialisasi bahasa kepada masyarakat sehingga bahasa Indonesia dapat dipikirkan bersama banyak warga, bukan orang-orang tertentu saja.
"Di Jepang orang tidak peduli, siapa pun itu dia harus bisa bahasa mereka. Agak feodal, tapi itu baik bahwa mereka menunjung bahasanya sendiri. Ada penghargaan lho bagi penutur bahasa yang baik, misal gajinya akan lebih tinggi, jabatannya juga naik. Nah di Indonesia, justru kebalikannya, kita dihargai kalau bisa bahasa luar negeri. Bahasa kita jatuh di bawah, sayang sekali bukan?" tuturnya kemudian.
Ia berharap, semakin banyak orang yang peduli terhadap bahasa, maka semakin tinggi derajat bahasa nasional.
"Kita belum mampu membanggakan bahasa sendiri, tahunya yang bagus itu yang impor, padahal bahasa Indonesia itu kaya. Coba kita punya pusat budaya Indonesia, biar orang tahu, bahasa kita itu benar-benar dipikirkan," tandasnya.
sumber: kompas.com
"Kita belum memakai bahasa dengan sungguh-sungguh sehingga dalam penggunaannya bahasa Indonesia pun mengalami pendangkalan bahasa," katanya seusai menghadiri acara Puncak Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia di kantor Badan Bahasa, Jakarta, Selasa (30/10/2012).
"Kita pernah melihat ada seorang tokoh masyarakat yang ketika itu memilih bahasa lain untuk mengungkapkan emosionalnya di hadapan publik. Dari sana kita tahu, sepertinya orang mulai beralih ke bahasa asing. Bahasa Indonesia-nya hanya jadi artefak atau bahasa fosil?" ujar Eka mengkritisi ulah bangsa Indonesia yang belum menjunjung tinggi kebahasaan dalam negeri.
Padahal, menurut Eka, bahasa Indonesia lebih memadai untuk menyampaikan pesan bahasa yang lebih tertata dan sopan santun. Hanya saja, dalam penggunaannya, para penutur belum sepenuhnya menjiwai bahasa.
"Harus ditemukan orang-orang yang lebih mengutamakan pemikirannya daripada sekadar berbahasa tanpa isi alias basa basi. Harus ada ruh dan ketulusan hati sehingga bahasa kita bisa lebih hidup. Kita harus menjelajahi jiwa itu untuk menemukan bahasa yang menjangkau sejarah bangsa, etnologi, dan kekayaan Indonesia," tutur Eka lagi.
Pendangkalan bahasa
Penerima penghargaan sastra dengan karya menggugah untuk novel Langit Pilihan pada Bulan Bahasa dan Sastra 2012 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pun tidak menginginkan penggunaan bahasa Indonesia menjadi kurang bermakna karena hilangnya kekayaan kosakata bahasa.
"Ini juga pendangkalan bahasa, misal hilangnya kosakata, pantai utara yang kini menjadi pantura, kemudian Otto Iskandar Dinata ke mana setelah ada Otista? Lalu, kalau kita mau menyatakan cinta kepada seseorang lewat bahasa, kita cuma bisa bilang apa selain 'I Love You' ? Padahal, bahasa kita itu lebih kaya," ujar Eka lagi.
Ia menambahkan, lewat kekayaan bahasa, kita dapat menemukan ungkapan yang lebih emosional. Mengutip karya Sapardi Djoko Damono yang mampu membahasakan cintanya "dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu" atau "dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada", maka orang lain tidak akan kabur ke bahasa lainnya.
"Saya contohkan yang lainnya, misal ada berita laporan wisata soal candi, para penyaji berita itu bicara sana sini tidak bermakna, tidak ada pemindahan nilai dari sejarah candi, fungsi candi, dan manfaat lain yang menunjang ilmu pengetahuan kita," katanya.
Dikatakannya pula, bahasa Indonesia akan lebih baik dan maju lagi bila ada penghargaan untuk para penutur bahasa yang baik, serta sosialisasi bahasa kepada masyarakat sehingga bahasa Indonesia dapat dipikirkan bersama banyak warga, bukan orang-orang tertentu saja.
"Di Jepang orang tidak peduli, siapa pun itu dia harus bisa bahasa mereka. Agak feodal, tapi itu baik bahwa mereka menunjung bahasanya sendiri. Ada penghargaan lho bagi penutur bahasa yang baik, misal gajinya akan lebih tinggi, jabatannya juga naik. Nah di Indonesia, justru kebalikannya, kita dihargai kalau bisa bahasa luar negeri. Bahasa kita jatuh di bawah, sayang sekali bukan?" tuturnya kemudian.
Ia berharap, semakin banyak orang yang peduli terhadap bahasa, maka semakin tinggi derajat bahasa nasional.
"Kita belum mampu membanggakan bahasa sendiri, tahunya yang bagus itu yang impor, padahal bahasa Indonesia itu kaya. Coba kita punya pusat budaya Indonesia, biar orang tahu, bahasa kita itu benar-benar dipikirkan," tandasnya.
sumber: kompas.com
Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Filosofi pendidikan
Pendidikan biasanya berawal saat
seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung
seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang
dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan
membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka
sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang, pengalaman
kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan
sekolah mengganggu pendidikan saya."[rujukan?]
Anggota keluarga mempunyai peran
pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari
mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
Fungsi pendidikan
Menurut Horton dan Hunt, lembaga
pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:
§ Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
§ Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan
bagi kepentingan masyarakat.
§ Melestarikan kebudayaan.
§ Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam
demokrasi.
Fungsi laten lembaga pendidikan
adalah sebagai berikut.
§ Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan,
sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada
sekolah.
§ Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki
potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin
dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu
hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
§ Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah
diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima
perbedaan prestise, privilese,
dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran
mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai
dengan status orang tuanya.
§ Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula
memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi
pada orang tuanya.
Menurut David
Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
§ Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
§ Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
§ Menjamin integrasi sosial.
§ Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
§ Sumber inovasi sosial.
sumber: wikipedia
Menjunjung Bahasa Nasional, Memelihara Bahasa Lokal
JAKARTA. Berbahasa satu, bahasa Indonesia. Dari awalnya, bahasa Indonesia
dideklarasikan dan ditujukan sebagai bahasa pemersatu untuk banyak etnis
yang diam di Nusantara.
Oleh karena itu, penguatan mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu dilakukan di sekolah sejak dini. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Mahsun, berharap sekolah bisa memberikan pengetahuan dasar soal kebahasaan yang dapat menjunjung kebahasaan untuk mempererat persatuan bangsa.
"Indonesia memiliki 546 bahasa lokal, sekarang suku bahasa mana yang akan menjadi representasi bangsa Indonesia? Kalau bukan diangkat bahasa melayu yang waktu itu penuturnya sedikit, hanya untungnya komunitas kecil ini tersebar di seluruh wilayah," tuturnya kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Mahsun berharap penguasaan bahasa Indonesia didukung pula dengan dengan pemeliharaan bahasa lokal di daerah masing-masing. Baik di dalam keluarga masing-masing maupun melalui mata pelajaran muatan lokal, nilai-nilai lokal bisa ditanamkan.
"Cerdas juga para pendiri negara ini, Sumpah Pemuda itu menyebutkan kita untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Adapun bahasa lokal daerah lain yang kita pelihara di rumah dapat menjadi satu identitas silsilah keluarga masing-masing," katanya.
Meskipun ada persoalan politis dalam dua kelompok kebahasaan di Indonesia, Mahsun tetap melihat bahwa pemeliharaan bahasa daerah penting. Apa pentingnya?
"Bagaimana pun bahasa lokal dapat menelusuri kekerabatan. Dari sana pun, kita bisa mengarahkan untuk memahami perbedaan satu dengan yang lain. Sebab, hubungan historis ini akan mengarahkan pada satu nenek moyang," ungkapnya.
sumber: kompas.com
Oleh karena itu, penguatan mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu dilakukan di sekolah sejak dini. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Mahsun, berharap sekolah bisa memberikan pengetahuan dasar soal kebahasaan yang dapat menjunjung kebahasaan untuk mempererat persatuan bangsa.
"Indonesia memiliki 546 bahasa lokal, sekarang suku bahasa mana yang akan menjadi representasi bangsa Indonesia? Kalau bukan diangkat bahasa melayu yang waktu itu penuturnya sedikit, hanya untungnya komunitas kecil ini tersebar di seluruh wilayah," tuturnya kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Mahsun berharap penguasaan bahasa Indonesia didukung pula dengan dengan pemeliharaan bahasa lokal di daerah masing-masing. Baik di dalam keluarga masing-masing maupun melalui mata pelajaran muatan lokal, nilai-nilai lokal bisa ditanamkan.
"Cerdas juga para pendiri negara ini, Sumpah Pemuda itu menyebutkan kita untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Adapun bahasa lokal daerah lain yang kita pelihara di rumah dapat menjadi satu identitas silsilah keluarga masing-masing," katanya.
Meskipun ada persoalan politis dalam dua kelompok kebahasaan di Indonesia, Mahsun tetap melihat bahwa pemeliharaan bahasa daerah penting. Apa pentingnya?
"Bagaimana pun bahasa lokal dapat menelusuri kekerabatan. Dari sana pun, kita bisa mengarahkan untuk memahami perbedaan satu dengan yang lain. Sebab, hubungan historis ini akan mengarahkan pada satu nenek moyang," ungkapnya.
sumber: kompas.com
Selasa, 23 Oktober 2012
Wacana Prestasi Akademik vs Wacana Perkembangan Manusia
by Kreshna
Dalam diskusi #twitedu beberapa waktu lalu tentang “Buku-buku Pendidikan yang Mencerahkan”, saya begitu bersemangat berbagi tentang buku-buku pendidikan yang begitu berkesan bagi saya. Setelah diskusi selesai, saya mendapat pertanyaan dari salah seorang peserta diskusi mana buku yang paling bagus di antara semua yang saya sebutkan. Saya jawab bahwa semua buku yang saya sebutkan itu sangat bagus, tapi kalau saya hanya boleh merekomendasikan satu buku saja yang bisa dibaca oleh semua orang yang berbeda-beda dan tertarik dengan isu pendidikan, maka saya akan merekomendasikan buku The Best Schools karya Thomas Armstrong.
Dalam diskusi #twitedu beberapa waktu lalu tentang “Buku-buku Pendidikan yang Mencerahkan”, saya begitu bersemangat berbagi tentang buku-buku pendidikan yang begitu berkesan bagi saya. Setelah diskusi selesai, saya mendapat pertanyaan dari salah seorang peserta diskusi mana buku yang paling bagus di antara semua yang saya sebutkan. Saya jawab bahwa semua buku yang saya sebutkan itu sangat bagus, tapi kalau saya hanya boleh merekomendasikan satu buku saja yang bisa dibaca oleh semua orang yang berbeda-beda dan tertarik dengan isu pendidikan, maka saya akan merekomendasikan buku The Best Schools karya Thomas Armstrong.
Dalam dua bab pertama The Best Schools, Thomas Armstrong menjelaskan tentang dua paradigma atau wacana pendidikan yang kontradiktif, yaitu Wacana Prestasi Akademik dan Wacana Perkembangan Manusia. Sebenarnya, ia menjelaskan tentang apa-apa saja yang salah di paradigma persekolahan saat ini dalam Wacana Prestasi Akademik, lalu ia menawarkan solusinya dengan mengajukan Wacana Perkembangan Manusia. Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa wacana adalah pelembagaan cara berpikir atau batasan sosial yang menentukan apa yang bisa dikatakan tentang topik tertentu. Wacana dipandang bisa mempengaruhi pandangan kita mengenai segala hal. Artinya, memahami wacana yang umum digunakan lalu membentuk wacana yang tepat sangatlah penting dalam menjalankan proses pendidikan.
Dalam artikel ini saya akan menuliskan poin-poin Wacana Prestasi Akademik dan juga Wacana Perkembangan Manusia. Sedangkan keterangan detail beserta contoh-contoh aplikasinya tentu bisa dilihat di bukunya yang sudah tersedia versi Bahasa Indonesia oleh penerbit Kaifa Learning.
WACANA PRESTASI AKADEMIK
Wacana prestasi akademik memandang tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong dan memfasilitasi kemampuan siswa meraih nilai tinggi dan nilai tes standar dalam pelajaran sekolah, terutama pelajaran-pelajaran yang termasuk bagian inti kurikulum. Sayangnya, wacana ini lah yang umum digunakan dalam dunia persekolahan kita, baik disadari maupun tidak, diakui maupun tidak.
Asumsi-asumsi yang mendasari Wacana Prestasi Akademik adalah:
- Muatan akademik dan keterampilan adalah yang paling penting untuk dipelajari.
- Penilaian prestasi dilakukan melalui angka dan tes standar.
- Cenderung pada kurikulum akademik yang ketat, seragam, dan wajib bagi semua siswa.
- Berorientasi pada masa depan.
- Bersifat selalu membandingkan.
- Mendasarkan klaimnya pada penelitian berbasis ilmiah.
- Umumnya terjadi di lingkungan atas-bawah, yakni individu dengan kekuatan politik yang lebih besar menerapkan program, prosedur dan kebijakan pada individu yang lebih lemah.
- Intinya adalah peringkat, nilai ujian dan akhirnya, uang.
Sedangkan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh Wacana Prestasi Akademik adalah:
- Menimbulkan bidang-bidang yang terabaikan di kurikulum yang sebenarnya merupakan bagian dari pendidikan utuh yang diperlukan siswa guna meraih keberhasilan dan pemenuhan dalam hidup.
- Mengakibatkan terjadinya pengabaian intervensi instruksional positif yang tidak bisa dinilai oleh data dari penelitian ilmiah.
- Mendorong pengajaran hanya demi persiapan menghadapi ujian.
- Mendorong siswa mencontek dan menjiplak.
- Mendorong manipulasi hasil ujian oleh guru dan pegawai administrasi.
- Mendorong siswa menggunakan bahan-bahan ilegal untuk membantu meningkatkan kinerja belajar.
- Memindahkan kendali kurikulum dari pendidik di ruang kelas ke organisasi yang membuat standar dan ujian.
- Mengakibatkan tingkat stres yang berbahaya di kalangan pendidik dan siswa.
- Meningkatkan kemungkinan siswa tinggal kelas dari tahun ke tahun dan keluar dari sekolah sebelum lulus.
- Tidak memperhatikan perbedaan latar belakang budaya individu, gaya belajar, kecepatan belajar serta faktor-faktor penting lain yang ada dalam kehidupan anak sesungguhnya.
- Memotong habis nilai hakiki belajar demi belajar itu sendiri.
- Membuat makin menjamurnya praktik-praktik tak layak di sekolah.
Nah, apabila Anda adalah seorang pendidik, atau mungkin orang tua siswa, coba perhatikan dan analisa dengan jujur, apakah Wacana Prestasi Akademik ini yang diterapkan di lingkungan pendidikan yang kita jalankan atau yang dijalani anak kita? Apakah asumi-asumsi itu yang tanpa sadari telah kita adopsi, serta apakah kita sudah melihat tanda-tanda dari dampak-dampak negatif yang disebutkan di atas namun kita tak mengakuinya? Bila iya, mungkin sudah saatnya kita menelaah dan mengadopsi Wacana Perkembangan Manusia sebagai alternatif yang diusulkan Thomas Armstrong.
WACANA PERKEMBANGAN MANUSIA
Wacana Perkembangan Manusia adalah mengungkapkan atau melejitkan potensi yang terdapat dalam diri manusia dan juga bermakna mengurai, membuka atau membebaskan manusia dari keterkungkungan, kerumitan atau rintangan. Dari definisi ini saja sudah terlihat bedanya, bukan? Mari kita lihat asumsi-asumsi yang digunakan serta dampak-dampak positif yang dihasilkannya.
Asumsi-asumsi yang mendasari Wacana Perkembangan Manusia adalah:
- Menjadi manusia seutuhnya adalah bagian terpenting dari belajar.
- Mengevaluasi pertumbuhan seutuhnya adalah sebuah proses penuh makna, berkelanjutan dankualitatif, yang menyangkut pertumbuhan manusia itu sendiri.
- Lebih menyukai kurikulum yang fleksibel, dibuat untuk individu dan yang memberi siswapilihan bermakna.
- Tertarik pada masa lalu, masa kini dan masa depan setiap siswa.
- Bersifat ipsatif [membandingkan kinerja siswa masa kini dengan kinerjanya sendiri sebelumnya], bukan normatif [membandingkan kinerja siswa masa kini dengan hasil tes standar sekolompok siswa sebelumnya].
- Mendasarkan klaim keabsahannya dari kekayaan pengalaman manusia.
- Biasanya muncul sebagai bagian dari upaya kalangan masyarakat/pendidik di hierarki bawah; dalam hal ini oleh praktisi [misalnya guru] yang terinspirasi oleh pemikir kreatif di bidang pendidikan dan psikologi.
- Intinya adalah kebahagiaan.
Sedangkan dampak-dampak positif yang dihasilkan Wacana Perkembangan Manusia adalah:
- Membuat siswa terlibat dalam kegiatan belajar dan pembelajaran yang akan membuat mereka lebih siap turun ke dunia nyata.
- Membuat semua siswa bersinar di bidang kekuatannya masing-masing.
- Mengurangi kebutuhan untuk mengelompokkan siswa sebagai anak lambat belajar, punya gangguan hiperaktif, tak mampu memusatkan perhatian, tak berprestasi akademik, atau stigma dan label negatif lainnya.
- Membuat siswa dapat mengembangan kompetensi dan kualitas, yang pada akhirnya akan membantu dalam membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
- Membantu memperbaiki banyak masalah sosial yang mencemari remaja dalam budaya masa kini yang terkotak-kotak.
- Membantu siswa lebih menjadi dirinya sendiri.
- Memberi pendidik dan siswa kendali lebih besar atas lingkungan belajar mereka.
- Mengurangi masalah disiplin di sekolah.
- Mendorong inovasi dan keragaman program belajar.
- Mendorong kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tahap perkembangan dan tidak mendukung kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan sekolah.
Sungguh berbeda 180 derajat antara Wacana Prestasi Akademik dan Wacana Perkembangan Manusia. Sebagai tambahan, berikut ini perbandingan karakteristik kedua wacana itu, ditampilkan dalam tabel:
Konteks | Wacana Prestasi Akademik | Wacana Perkembangan Manusia |
Tradisi Intelektual | Positivisme | Humanisme |
Orientasi Sementara | Berorientasi masa depan | Berorientasi masa lalu – masa kini – masa depan |
Pendekatan Utama pada Penelitian | Kuantitatif | Kualitatif |
Metode Utama dalam Penilaian Siswa | Ujian Nasional | Pengamatan alami dan dokumentasi |
Struktur Kekuasaan | Mandat dari atas ke bawah | Ide disebar hingga ke tingkat dasar [grassroots level] |
Aspek Pembelajaran yang Paling Dihargai | Produk akhir | Proses sejak awal hingga akhir |
Metode Penilaian Kemajuan Siswa | Normatif | Ipsatif |
Hal Terpenting yang Perlu Diajarkan | Keterampilan akademik | Cara hidup sebagai manusia seutuhnya |
Pihak Terpenting dalam Pembelajaran | Institusi [sekolah, propinsi, negara] | Individu |
Peran Terpenting Guru | Memenuhi instruksi institusi | Menginspirasi siswa untuk belajar |
Dasar Keabsahan pada… | Penelitian ilmiah | Kekayaan pengalaman manusia |
Mata Pelajaran Terpenting di Sekolah | Membaca, matematika, sains | Keterampilan hidup, seni, pendidikan keterampilan, kemanusiaan, sains, dan hubungan di antaranya |
Intinya | Nilai ujian tinggi, uang | Kedewasaan, kebahagiaan |
Apakah ada dari poin-poin di atas yang masih membuat penasaran tentang definisi dan contohnya? Lalu bagaimana solusi perbaikan yang bisa dilakukan untuk pendidikan kita? Silahkan cari di buku The Best Schools karya Thomas Armstrong. Saya kan tak bisa copy-paste semua isi bukunya. Yang jelas, banyak pencerahan dan pembelajaran yang bisa didapat oleh para pendidik dan orang tua dari buku ini. Dan seperti kata Prof. Conny Semiawan dalam kata pengantarnya untuk The Best Schools, “Buku ini seyogyanya disuguhkan kepada para pengambil keputusan dan para pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional.” Tapi, tak perlu lah menunggu penguasa. Mari kita mulai dari diri dan keluarga/sekolah/lembaga/gerakan kita sendiri.***
sumber: bincangedukasi.com
sumber: bincangedukasi.com
Langganan:
Postingan (Atom)