Selasa, 30 Oktober 2012

Kisah SMKN 2 Surakarta Mengembangkan Mobil Esemka

Oleh Ester Lince Napitupulu dan Sri Rejeki
Pembuatan mobil Esemka juga bermitra dengan produsen dari China. Namun, komponen lokal diperbanyak. Mobil Esemka yang siap dipasarkan, kandungan lokal mencapai 60 persen.
KOMPAS.com - Mulai dengan perakitan mobil program Direktorat SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, SMKN 2 Surakarta yang memiliki program keahlian otomotif terpilih untuk mengembangkan mobil Esemka pada 2008. Sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional itu kini digandeng PT Solo Manufaktur Kreasi untuk mengembangkan prototipe mobil Esemka yang siap diproduksi massal.
Mobil jenis sport utility vehicle (SUV) Esemka 1.500 cc karya siswa SMKN 2 sudah dijadikan mobil dinas di masa Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi). Rakitan mobil Esemka generasi pertama dikerjakan siswa SMKN 2, SMKN 5, dan SMK Warga Surakarta di bawah bimbingan Sukiyat, pemilik Bengkel Kiat Motor, yang menjadi mentor siswa SMK.
Keinginan mewujudkan mobil Esemka menjadi produk massal yang bisa bersaing di pasar dalam negeri mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Solo. Hal itu ditandai dengan pembentukan PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) oleh sejumlah pengusaha dan gabungan koperasi SMK di Solo dan sekitarnya.
”Dari merakit, kita bisa belajar membuat beberapa komponen. Ini peluang buat siswa SMK mengembangkan usaha,” kata Dwi Budhi Martono, guru otomotif SMKN 2 Surakarta.
Menurut Martono, pembuatan mobil Esemka juga bermitra dengan produsen dari China. Namun, komponen lokal diperbanyak. Mobil Esemka yang siap dipasarkan, kandungan lokal mencapai 60 persen.
Joko Sutrisno, mantan Direktur SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendukung hadirnya PT SMK. ”PT SMK sebagai industri. Adapun SMK-SMK melalui koperasi digandeng sebagai mitra. Demikian juga sejumlah usaha kecil menengah,” kata Joko.
Produksi massal mobil Esemka untuk mobil jenis SUV dan pick-up (minitruk) yang dikembangkan di banyak SMK, menurut Joko, siap dilaksanakan PT SMK. Proses perizinan masih diurus dari kepolisian, Kementerian Perhubungan, hingga Kementerian Perindustrian.
Martono mengatakan, di SMKN 2 tengah dikembangkan prototipe mobil Esemka SUV dan pick-up yang lebih baik dari yang pernah dirakit. Bersama Universitas Muhammadiyah Surakarta, sasis mobil Esemka didesain monocoque (kerangka dan bodi menjadi satu), lebih ringan, tetapi tetap kuat.
Minitruk yang hendak diproduksi massal berkapasitas 1.100 cc dan mampu mengangkat beban seberat 1 ton.
Martono menuturkan, sekolah ini bisa bermitra dengan sejumlah UKM di daerah lain sekitar Solo untuk membuat komponen-komponen mobil yang sudah bisa dilokalkan. Dalam bidang ini, selain siswa otomotif, bisa dilibatkan siswa mesin dan elektronika.
Program keahlian otomotif sampai saat ini tinggi peminatnya. Masyarakat melihat peluang kerja yang terbuka lebar, termasuk peluang wirausaha dalam jasa perawatan. ”Sekarang kami coba mengarahkan dalam proses produksi,” kata Martono.
Lulusan program keahlian otomotif SMKN 2 Surakarta saat ini diburu berbagai perusahaan otomotif. Mereka tersebar di Solo dan sekitarnya, di perusahaan besar otomotif, hingga di perusahaan pembuat berbagai komponen mobil.
Perakitan komputer
Tak hanya dikenal dengan program otomotif yang mencuatkan mobil Esemka ke tingkat nasional, SMKN 2 Surakarta juga dilibatkan dalam perakitan laptop, netbook, personal computer, dan proyektor LCD. Dalam waktu dekat, sekolah ini akan dilibatkan dalam perakitan komputer tablet.
Wakid Rusyanto, Kepala Kompetensi Teknik Komputer Jaringan (TKJ), mengatakan, produk netbook, personal computer, hingga proyektor LCD rakitan siswa SMKN 2 Surakarta sudah dikenal luas melalui pameran-pameran. Kini, SMKN 2 juga dikenal sebagai pusat pelatihan perakitan komputer.
Guru dan siswa dari sekolah lain, termasuk SMK teknologi informasi, biasanya tidak membeli yang sudah dirakit siswa. SMKN 2 merekomendasikan peserta untuk membeli komponen siap rakit dari vendor yang dikenal sekolah. Lalu, siswa dan guru dari sekolah lain ini belajar merakit sendiri di bawah bimbingan SMKN 2.
”Semakin banyak SMK lain yang bisa merakit komputer, kami senang. Kita tidak saling bersaing, tetapi saling berbagi supaya sama-sama maju,” kata Wakid.
Dalam program perakitan, siswa kelas X TKJ bertugas merakit. Adapun siswa kelas XI bertanggung jawab pada pengawasan kualitas, yakni saat instalasi dan pengecekan, sedangkan kelas XII pada pemeliharaan.
Komponen lokal
Sekolah ini juga mengajarkan perakitan CNC milling kepada siswa. Sekolah memulai dari perakitan, kemudian mengembangkannya dengan memasukkan komponen lokal.
Misalnya, dalam pembuatan mesin CNC bermerek Focus Esemka, komponen lokal bisa mencapai 60 persen. Mesin yang harga di pasaran Rp 600 juta bisa dibuat lebih murah sekitar Rp 200 juta (30 persen) dari harga jual di pasaran.
Menurut Martono, perakitan dengan memasukkan komponen-komponen yang bisa diproduksi lokal terus dikembangkan SMKN 2 Surakarta dalam bagian pendidikan berbasis produksi. Cara ini diyakini bisa menginspirasi siswa berinovasi dan mengembangkan industri komponen yang bisa dikerjakan di tingkat SMK dan UKM.
Selain teknik otomotif, permesinan, dan teknik komputer dan informatika yang mampu berkembang dalam skala industri, sekolah ini menguatkan pendidikan dalam program keahlian lain seperti teknik konstruksi kayu, teknik konstruksi batu dan beton, teknik gambar bangunan, teknik instalasi tenaga listrik, dan teknik audio video.
 
Sumber :
Kompas Cetak

Di Rumah Sendiri, Bahasa Indonesia Tidak Populer

Pengamat bahasa dan kesusastraan Indonesia Eka Budianta menilai nasionalisme bangsa Indonesia sedang dalam posisi rendah, terutama berkaitan dengan rasa kebanggaan berbahasa nasional. Eka menyatakan, bahasa Indonesia kalah populer dari bahasa asing. Ironisnya, hal itu terjadi di rumah sendiri.

"Kita belum memakai bahasa dengan sungguh-sungguh sehingga dalam penggunaannya bahasa Indonesia pun mengalami pendangkalan bahasa," katanya seusai menghadiri acara Puncak Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia di kantor Badan Bahasa, Jakarta, Selasa (30/10/2012).

"Kita pernah melihat ada seorang tokoh masyarakat yang ketika itu memilih bahasa lain untuk mengungkapkan emosionalnya di hadapan publik. Dari sana kita tahu, sepertinya orang mulai beralih ke bahasa asing. Bahasa Indonesia-nya hanya jadi artefak atau bahasa fosil?" ujar Eka mengkritisi ulah bangsa Indonesia yang belum menjunjung tinggi kebahasaan dalam negeri.

Padahal, menurut Eka, bahasa Indonesia lebih memadai untuk menyampaikan pesan bahasa yang lebih tertata dan sopan santun. Hanya saja, dalam penggunaannya, para penutur belum sepenuhnya menjiwai bahasa.

"Harus ditemukan orang-orang yang lebih mengutamakan pemikirannya daripada sekadar berbahasa tanpa isi alias basa basi. Harus ada ruh dan ketulusan hati sehingga bahasa kita bisa lebih hidup. Kita harus menjelajahi jiwa itu untuk menemukan bahasa yang menjangkau sejarah bangsa, etnologi, dan kekayaan Indonesia," tutur Eka lagi.

Pendangkalan bahasa

Penerima penghargaan sastra dengan karya menggugah untuk novel Langit Pilihan pada Bulan Bahasa dan Sastra 2012 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pun tidak menginginkan penggunaan bahasa Indonesia menjadi kurang bermakna karena hilangnya kekayaan kosakata bahasa.

"Ini juga pendangkalan bahasa, misal hilangnya kosakata, pantai utara yang kini menjadi pantura, kemudian Otto Iskandar Dinata ke mana setelah ada Otista? Lalu, kalau kita mau menyatakan cinta kepada seseorang lewat bahasa, kita cuma bisa bilang apa selain 'I Love You' ? Padahal, bahasa kita itu lebih kaya," ujar Eka lagi.

Ia menambahkan, lewat kekayaan bahasa, kita dapat menemukan ungkapan yang lebih emosional. Mengutip karya Sapardi Djoko Damono yang mampu membahasakan cintanya "dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu" atau "dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada", maka orang lain tidak akan kabur ke bahasa lainnya.

"Saya contohkan yang lainnya, misal ada berita laporan wisata soal candi, para penyaji berita itu bicara sana sini tidak bermakna, tidak ada pemindahan nilai dari sejarah candi, fungsi candi, dan manfaat lain yang menunjang ilmu pengetahuan kita," katanya.

Dikatakannya pula, bahasa Indonesia akan lebih baik dan maju lagi bila ada penghargaan untuk para penutur bahasa yang baik, serta sosialisasi bahasa kepada masyarakat sehingga bahasa Indonesia dapat dipikirkan bersama banyak warga, bukan orang-orang tertentu saja.

"Di Jepang orang tidak peduli, siapa pun itu dia harus bisa bahasa mereka. Agak feodal, tapi itu baik bahwa mereka menunjung bahasanya sendiri. Ada penghargaan lho bagi penutur bahasa yang baik, misal gajinya akan lebih tinggi, jabatannya juga naik. Nah di Indonesia, justru kebalikannya, kita dihargai kalau bisa bahasa luar negeri. Bahasa kita jatuh di bawah, sayang sekali bukan?" tuturnya kemudian.

Ia berharap, semakin banyak orang yang peduli terhadap bahasa, maka semakin tinggi derajat bahasa nasional.

"Kita belum mampu membanggakan bahasa sendiri, tahunya yang bagus itu yang impor, padahal bahasa Indonesia itu kaya. Coba kita punya pusat budaya Indonesia, biar orang tahu, bahasa kita itu benar-benar dipikirkan," tandasnya.

sumber: kompas.com